BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Bagi seorang konselor menguasai
keterampilan konseling adalah mutlak. Sebab dalam proses kornseling,
keterampilan yang baik adalah kunci keberhasilan menuju tercapainya tujuan
konseling. Seorang Konselor yang efektif harus mampu merespon klien dengan
teknik dan keterampilan yang benar, sesuai keadaan klien saat itu. Respon yang
benar adalah respon yang mampu mendorong, merangsang, dan menyentuh klien
sehingga klien dapat terbuka untuk menyatakan dengan bebas perasaan, pikiran
dan pengalamannya. Selanjutnya klien harus terlibat dalam diskusi mengenai
dirinya.
Respon konselor terhadap klien
mencakup dua sasaran yaitu perilaku verbal dan perilaku nonverbal. Seorang
konselor bukanlah robot melainkan seseorang yang syarat akan latar belakang
sosial-budaya-agama, persoalan-persoalan hidup, keinginan dan cita-cita, dan
sebagainya. Apabila seorang konselor sedang dalam kondisi tidak nyaman, maka
besar kemungkinan kondisi tersebut akan terbawa tanpa sengaja kedalam hubungan
konseling. Untuk mengatasi hal tersebut konselor harus berusaha mengusir segala
masalah diri semaksimal mungkin, dan harus ada kepekaan terhadap diri. Kemudian
Konselor harus peka terhadap bahasa tubuh klien.
Keterampilan peka dan empati
merupakan keterampilan yang lazim digunakan konselor dalam tahapan-tahapan
konseling dan merupakan keterampilan konseling yang harus dikuasai oleh
konselor. Untuk itu, penulis tertarik untuk menulis keterampilan peka dan
empati dalam konseling yang harus dimiliki oleh seorang konselor.
Seorang konselor
diharapkan memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam
mewujudkan kemampuan dalam hubungan membantu konseli, tetapi juga mampu
menyadari dunia lingkungannya maupun menyadari masalah sosial politiknya, dan
dapat berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan
profesionalnya. Maka dari itu dibutuhkan pemahaman yang luas tentang
pengembangan pribadi konselor yang terintegrasi, demi tewujudnya lulusan guru
pembimbing atau konselor yang profesonal dibidangnya.
B.
Rumusan
Masalah.
Adapun yang menjadi
rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa
yang dimaksud dengan empati?
2. Apa
tujuan dari sikap empati?
3. Bagaimana
cara berempati?
4. Ada
berapa macam sikap empati?
C.
Tujuan.
Adapun yang menjadi
tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui definisi dari empati.
2. Untuk
mengetahui tujuan dari berempati.
3. Untuk
mengetahui cara berempati.
4. Untuk
mengetahui jenis-jenis empati.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Empati.
Empati adalah
suatu istilah umum yang dapat digunakan untuk pertemuan, pengaruh dan interaksi
di antara pribadi dengan pribadi. “Empati” berasal dari kata Yunani “pathos”,
yang berarti perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati penderitaan. Empati
mengacu pada kegiatan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada
seseorang sedemikian rupa sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan
atau kehilangan dirinya sendiri. Dalam proses empati yang mendalam inilah
berlangsung proses pengertian, pengaruh dan bentuk hubungan antarpribadi yang
penting lainnya. Dengan demikian, didalam mendiskusikan konsep empati yang
tidak hanya mengulas suatu proses kunci menuju dan di dalam konseling efektif,
tetapi juga termasuk pada pekerjaan sebagai guru, pembuka agama, dan pekerjaan
lain yang keseluruhan isi pekerjaan tersebut bergantung pada proses
mempengaruhi orang lain.
Secara harfiah,
empati adalah seseorang masuk ke dalam diri orang lain dan menjadi orang lain
agar merasakan dan menghayati orang lain, maka akan timbul penilaian bahwa
orang tersebut mustahil bisa melakukan hal tersebut. Sebab menurut pengertian
secara harfiah itu orang masuk ke dalam orang lain, jadi hal itu tidak mungkin.
Empati juga
dapat diartikan kepribadian yang ikut merasa dan berpikir ke dalam kepribadian
lain sehingga tercapai suatu keadaan identifikasi. Dalam identifikasi ini
pemahaman antar manusia yang sebenarnya dapat terjadi. Dalam kenyataanya, tanpa
empati tidak mungkin ada pengertian. Pengalaman empati terjadi pada konselor
berhari-hari baik ia mengenalinya atau tidak. Dalam konseling, konselor yang
efektif berusaha untuk melihat dan memahami masalah yang dihadapi konseli dari
sudut pandang konseli itu.
Empati terjadi
pada saat seorang manusia berbicara (satu sam lain). Tidak memungkinkan untuk
memahami individu lain jika tidak memungkinkan pula untuk mengidentifikasikan
diri dengan lawan bicara. Jika kita mencari asal usul kemampuan bertindak dan
merasa seolah diri kita ini orang lain ini, kita dapat menemukannya dalam
keberadaan perasaan sosial bawaan. Pada kenyataanya, ini merupakan perasaan
kosmis dan refleksi dari keterkaitan kosmos seluruhnya yang ada dalam diri
kita; karakteristik yang tak dapat dielakkan sebagai manusia.
Dengan demikian
empati itu adalah bagaimana seorang konselor dapat menyatukan dirinya dengan
seorang klien baik perasaaan, pengalaman maupun pemahaman. Dan empati dilakukan
sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk
empati. Keterampilan melakukan empati harus selalu dilatih, agar kita sebagai
konselor tetap peka terhadap berbagai emosi yang dirasakan Konseli dan mudah
dalam memahami isi atau jalan pikiran mereka.
B.
Tujuan
Empati.
Adapun tujuan dari empati yang digunakan oleh konselor
adalah agar calon konselor mampu memasuki dunia dalam klien melalui
ungkapan-ungkapan empati baik itu empati primer maupun empati tingkat tinggi
yang menyentuh perasaan klien. Jika demikian keadaannya maka klien akan terbuka
dan mau mengungkapkan dunia dalamnya lebih jauh. Baik itu perasaan,
pengalamannya, dan pikirannya.
Dengan demikian seorang konselor harus mampu membawa
perasaan dan mengungkapnya hingga ke bagian dalam klien agar si klien lebih
terbuka dan dapat diterima sebagai konseli. Dengan begitu klien bisa secara
baik mengungkapkan apa yang dia rasakan oleh klien. Latihan berempati melibatkan
kemampuan memasuki dunia konseli melalui ungkapan-ungkapan empati yang
sekiranya dapat menyentuh perasaan dan memperlihatkan pada konseli akan
kepedulian kita pada mereka. Kemampuan anda melakukan empati akan membuat
konseli bersikap terbuka. Dengan demikian, konseli akan bersedia mengungkapkan
dunia dalam dirinya dengan cara yang jauh lebih baik. Dunia dalam diri ini
dapat berbentuk isi pikiran, emosi, maupun pengalaman hidupnya yang tersembunyi
dan bahkan sisi kelam dalam dirinya. Dan dengan empati konselor akan mampu
menggali keterbukaan diri klien.
Hal ini membuat perasaan klien terbuka lalu menyatakan
perasaannya dengan bebas dan terus bergerak ke arah pemahaman dan penyadaran
diri. Akibatnya adalah klien menjadi rasional dalam menghadapi masalah sehingga
melahirkan rencana-rencana yang realistis untuk mengatasinya.
C.
Cara
Berempati.
Empati dalam konseling
merupakan hal yang sangat penting. Mengingat proses konseling merupakan sebuah
bantuan melalui interaksi. Salah satu masalah yang sering muncul adalah
kurangnya rasa empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman
interaksi komunikasi sehingga konseli frustasi dan tidak ada manfaat yang
dihasilkan dari proses konseling tersebut. Empati merupakan dasar hubungan
interpersonal. Hal yang juga penting diungkap dalam konteks peningkatan mutu
empati seseorang adalah berlatih menampakkan ekspresi-ekspresi atau
isyarat-isyarat non-verbal yang membuat orang lain merasa dimengerti dan
diterima, karena kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk
membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat non verbal orang
lain. Pemahaman seperti ini membuat hubungan antar individu terjalin dengan
baik. Dalam kepustakaan konseling ditegaskan tentang keefektifan konseling
(counseling effectiveness) lebih ditentukan dari kecakapan konselor. Oleh
karena itu, peran empati cukup esensial yang diakui dalam teori-teori
konseling, sehingga empati yang diwujud-nyatakan dalam praktik konseling selama
ini merupakan suatu keniscayaan untuk ditumbuh-kembangkan secara sistemis di
dunia pendidikan dan kehidupan masyarakat kita.
Dalam dunia konseling, pada dasarnya seorang konselor
bekerja atas dasar dan melalui proses empati. Pada proses konseling, baik
konselor maupun klien dibawa keluar dari dalam dirinya dan bergabung dalam
kesatuan psikis yang sama sehingga emosi dan keinginan keduanya menjadi bagian
dari kesatuan psikis yang baru. Oleh sebab itu seorang konselor di tuntut untuk
mampu mempergunakan empati baik empati primer maupun empati tingkat tinggi.
Dan untuk lebih baiknya kita tahu bagaimana cara seorang
konselor berempati yang akan dibahasa di bawah ini. Keberhasilan empati adalah
jika klien dapat memahami empati konselor, sehingga dia percaya diri untuk
mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya. Untuk itu sebagai seorang
konselor harus bisa memberikan empati yang efektif untuk mencapai tujuannya,
yaitu merasakan apa yang dirasakan klien. Dengan demikian empati merupakan
latihan yang snagat penting bagi konselor. Hal ini agar konselor memiliki
kepribadian yang mampu berkomunikasi dengan klien dan dapat berkomunikasi yang
baik dengan klien.
Dan untuk dapat merasakan apa yang dirasakan klien,
dipikirkan dan dialami klien, seorang konselor haruslah berusaha, sebagai
berikut :
·
Melihat
kerangka rujukan dunia-dalam klien atau kehidupan internal klien.
·
Menempatkan
diri kedalam persepsi internal klien.
·
Merasakan
apa yang dirasakan klien.
·
Berpikir
bersama klien, bukan berpikir tentang atau uuntuk klien.
·
Menjadi
kaca emosional /cermin perasaan klien
Dengan usaha yang dilakukan di atas
maka konselor akan dapat memberi kenyamanan kepada klien dan setelah itu klien
pun akan leluasa memberikan atau mencurahkan isi hatinya. Karena jika konselor
perpikir seperti yang diatas kemungkinan kecil untuk tidak memotong pembicaraan
klien.
Dan empati ini dilakukan oleh
seorang konselor dengan menggunakan keterampilan mempengaruhi dengan
komponen-komponennya, keterbukaan diri, pengarahan, dan penafisran. Sebab
dengan adanya komponen tersebut maka empati akan menjadi mendalam serta
nilainya tinggi sehingga segera dapat mengubah perilaku klien.
Dengan usaha seperti diatas maka
barulah klien melakukan empati. Sebab empati akan berhasil jika klien dapat
memahami empati konselor. Sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan/
mencurahkan dan memecahkan masalahnya.
Dan untuk itu berikut ini akan ada
cara berempati yang baik yang dikemukan oleh Sofyan S. Wilis dalam bukunya yang
berjudul Konseling Individual Dalam Teori Dan Praktek. Yakni sebagai berikut:
·
Kosongkan
pikiran dari rasa/sikap egoistic.
·
Amati
bahasa tubuh klien, seperti emosi, air muka (mimik), gerak isyarat, dan gerakan
yang membawa pesan emosional.
·
Rasakan
kehidupan emosi klien, dan berusaha berada dalam kehidupan internal klien.
·
Amati
verbal klien yang membawa emosi.
·
Intervensi
dengan persyaratan efektif, sesuai dengan keadaan emosi klien (refleksi
feeling).
Dari urutan kegiatan di atas ada dua langkah penting untuk
memahami emosi klien melalui empati. Yakni : pertama secara tepat merasakan
dunia klien melalui perilakunya. Yang kedua adalah secara verbal konselor
berbagi pengalaman dengan klien. Dan jika ingin tahu bagaimana tebakan tentang
emosi klien itu benar dan jitu. Yaitu jika klien tersebut berkata “yah, itu
yang saya maksud.”
Jadi dengan demikian untuk dapat memahami emosi klien,
seorang konselor harus melewati empati. Termasuk di dalamnya empati dengan cara
masuk langsung ke dunia klien melalui perilakunya. Seperti misalnya konselor
melihat perilaku klien saat memberikan wawancara. Dengan demikian akan
memudahkan konselor ikut dalam pikiran klien. Yang kedua adalah mengikuti alur
yang dikatakan klien (verbal klien). Jika klien merasa sedih dan mimiknya juga
sedih maka konselor juga harus demikian. Jangan sampai jika klien mnegatakan
atau menceritakan pengalamannya yang sedih, lalu konselor tersenyum atau
tertawa. Hal ini tidak akan membuat klien nyaman.
D.
Jenis
– Jenis Empati.
Empati dilakukan
sejalan dengan perilaku attending. Tanpa
perilaku attending, mustahil
terbentuk empati. Dan untuk lebih lengkapnya ada dua macam empati adalah
sebagai beriku :
a.
Empati primer/ Primery Emphaty
(PE), yaitu suatu perasaan bagaimana masuk ke dunia dalam klien merasakan apa
yang diarasakan, dan dnegan perilaku attending . Jadi bentuk empati yang hanya
berusaha memahami perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar
klien dapat terlibat dan terbuka. Contoh ungkapan empati primer : “Saya
mengerti keinginan Anda”, “Saya dapat memahami pikiran Anda”, “Saya dapat merasakan
bagaimana perasaan Anda”. Atau seperti ini, “anda merasa tidak aman ketika
melihat dia. Saya merasakan perasaan anda. Akan teteapi anda memiliki kekuatan
untuk bangkit dan pergi meninggalkannya.”
b.
Empati tingkat tinggi yang lebih
akurat/ Advanced Accurate Emphaty (AAE), yaitu konselor memberi empati yang
lebih mendalam dan mengena sehingga pengaruhnya terasa lebih mendalam pada diri
klien, dan pada gilirannya lebih emmbangkitkan suasanan emosional klien. Jadi
empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran keinginan serta
pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan
perasaan tersebut. Misalnya: “saya ikut terluka dengan penderitaan anda. Namun
saya juga bangga dengan kemampuan daya tahan anda.”, “saya ikut terhina dengan
pengalaman keji yang anda alami namun saya salut terhadap keuletan anda
memberla kebenaran.” Atau seperti ini, “saya merasakan perasaan cemas yang anda
alami. Saya ikut terluka dengan peristiwa tersebut. Namun saya terkesan dengan
kekuatan anda untuk bangkit meninggalkan dia.”
Hal diatas tersebutlah
contoh empati yang terbagi ke dalam dua macam. Yaitu empati primer dan empati
tingkat tinggi. Dan jika ditanya mana yang paling baik antar keduanya, dapat
dikatakan semuanya baik. Namun tergantung kepada masalah apa yang di hadapi
klien dan juga tergantung kepada klien yang seperti apa yang datang ke
konseloor. Mengapa demikian?. Sebab klien yang datang ke kita sebagai seorang
konselor banyak karakteristiknya. Aneka ragam klien yang datang ke konselor ini
ada 4 ragam, yakni :
a.
Klien suka rela, jika klien yang
datang ke konselor dnegan kerelaan hatinya, mungkin bisa digunakan empati yang
primer sebab kemungkinan klien yang datang dengan suka rela, dia tidak terlalu
membutuhkan pengutan yang lebih dnegan empati.
b.
Klien terpaksa, jika yang datang
klien yang seperti ini maka dapat digunakan empati yang tingkat tinggi agar dia
lebi merasa di terima di sana.
c.
Klien enggan. Sama juga menggunakan
empati tingkat tinggi.
d.
Klien bermusuhan, hal ini dapat
menggunakan empati tingkat tinggi. Sebab klien ini memiliki sifat tertutup,
menentang, bermusuhan dan menolak secara terbuka. Jika demikian adanya maka
dapat digunakan empati tingkat tinggi. Agar si klien merasakan respect dari
konselor.
Dan
dengan empati PE dan AAE konselor akan mampu mengali keterbukaan diri klien.
Hal ini membuat perasaan klien terbuka lalu menyatakan perasaannya dengan bebas
dan terus bergerak ke arah pemahaman dan penyadaran diri. Akibatnya adalah
klien menjadi rasional dalam menghadapi maslaah sehingga melahirkan
rencana-rencana yang realistis untuk mengatasinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Empati
adalah suatu istilah umum yang dapat digunakan untuk pertemuan, pengaruh dan
interaksi di antara pribadian dengan pribadi. “Empati” berasal dari kata Yunani
“pathos”, yang berarti perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati
penderitaan. Empati mengacu pada kegiatan identifikasi kepribadian yang lebih
mendalam kepada seseorang sedemikian rupa sehingga seseorang yang berempati
sesaat melupakan atau kehilangan dirinya sendiri.
Dalam
proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi seorang
konseli.konselor menerima konseli apa adanya dan sedia dengan sepenuh
hati membantu konseli mengatasi masalahnya sekalipun dalam situasi yang kritis.
Keadaan seperti itulah yang menjadi alas an semua ahli konseling
menempatkan peran konselor pada posisi yang amat strategis dalam upaya
“menyelamatkan” konseli dari keadaan yang tidak menguntungkan baik untuk jangka
pendek maupun jangka panjang. Semua pendekatan dan ahli konseling menganggap
bahwa konselor adalah pihak yang amat menentukan bagi keberhasilan proses
konseling.
B.
Saran.
Konselor
diharapkan memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam
mewujudkan kemampuan dalam hubungan membantu konseli tetapi juga mampu
menyadari dunia lingkungannya, mau menyadari masalah sosial politiknya, dan
dapat berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan
profesionalnya. Maka dari itu dibutuhkan pemahaman yang luas tentang pngembangan
pribadi konselor yang terintegrasi, demi tewujudnya lulusan guru pembimbing
atau konselor yang profesonal dibidangnya. Dalam makalah kami akan dibahas
lebih lanjut tentang pribadi konselor yang terintegrasi dan indicator pribadi
konselor yang terintegrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Mappiare, Andi. Pengantar
Konseling dan Psikoterapi. 2002. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.