DISUSUN OLEH
:
ARDI
13.6010.60004
UNIVERSITAS
BORNEO TARAKAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN
BIMBINGAN DAN KONSELING
2015
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, disertai
keteguhan dan kesabaran hati, akhirnya penulisan makalah ini dapat diselesaikan dengan judul ” PERAN KONSELOR YANG MENUNJANG
KONDISI PSIKOLOGI SISWA DALAM PROSES KONSELING “
Dalam penulisan makalah ini,
penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari pihak lain tidak mungkin
penulis dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu, ucapan terima kasih pertama
sekali penulis sampaikan kepada Orang tua saya tercinta yang telah
memberi sumbangan moril maupun materil kepada penulis, selanjutnya rekan-rekan
satu angkatan yang juga telah ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun
tidak langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Kemudian itu pula, dengan
rasa rendah hati penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk perbaikkan dimasa yang akan datang. Walaupun demikian
penulis mengharapkan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ...................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Konseling ......................................................................... 2
2.2 Konselor ......................................................................................... 2
2.3 Klien .............................................................................................. 6
2.4 Syarat-syarat Konseling ................................................................. 8
2.5 Konsidi Psikologi dalam Konseling ............................................... 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 13
3.2 Saran .............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Konseling merupakan suatu hubungan yang bersifat membantu,
yaitu interaksi antara konselor dan konseli merupakan suatu kondisi yang
membuat konseli terbantu dalam mencapai perubahan yang lebih baik. Disamping itu
di katakan pula bahwa pada hakekatnya konseling itu bersifat psikologis.
Dari hakekatnya sebagai hubungan yang bersifat membantu dan
sebagai proses psikologis, konseling memberikan pengalaman belajar yang baru
kepada seseorang (klien). Dalam konseling, konselor harus mampu menciptakan
interaksi konseling sedemikian rupa sehingga pada akhirnya klien memperoleh
sesuatu yang baru yang belum pernah meraka miliki sebelumnya.
1.2
Rumusan Masalah
§ Menguraikan
bagaimana kondisi psikologis siswa yang menunjang proses konseling.
1.3
Tujuan
§ Untuk
mengetahui kondisi psikologis siswa yang menunjang proses konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Konseling
Secara konvensional, konseling didefinisikan sebagai pelayanan professional
(professional service) yang diberikan oleh konselor kepada klien secara
tatap muka (face to face) agar klien dapat mengembangkan perilakunya ke
arah lebih maju (progressive). Pelayanan konseling berfungsi kuratif (curative)
dalam arti penyembuhan dimana klien adalah individu yang mengalami masalah, dan
setelah memperoleh layanan konseling, ia diharapkan secara bertahap dapat
memahami masalahnya (problem understanding) dan memecahkan masalahnya (problem
solving).
2.2
Konselor
Konselor dalam istilah bahasa Inggris disebut Counselor atau Helper
merupakan petugas khusus yang berkualifikasi dalam bidang konseling (counseling).
Dalam konsep counseling for all, di dalamnya terdapat kegiatan bimbingan
(guidance). Kata Counselor tidak bisa dipisahkan dari kata Helping.
Counselor menunjuk pada orangnya sedangkan helping menunjuk pada
profesinya atau bidang garapannya. Jadi konselor adalah seorang yang memiliki
keahlian dalam bidang pelayanan konseling, ia sebagai tenaga professional.
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 ayat 6 disebutkan bahwa konselor sebagai pendidik yang
merupakan salah satu tenaga kependidikan yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. Selanjutnya menurut Buku Standar Kompetensi Konselor Indonesia
(2005:4), konselor adalah tenaga professional bimbingan dan konseling (guidance
and counseling) yang harus memiliki sertifikasi dan lisensi untuk
menyelenggarakan layanan professional bagi masyarakat. Tenaga professional ini
disiapkan dan dihasilkan oleh program studi bimbingan dan konseling, jenjang
S1, S2 dan S3, termasuk pembinaan profesi di dalamnya.
Konselor sebagai tenaga professional dalam bidang bimbingan dan konseling (guidance
and counseling) merupakan tenaga khusus yang memiliki karakteristik atau
ciri-ciri dalam aspek kepribadian, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
1. Karakteristik
Kepribadian
Karakteristik
kepribadian konselor dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu karakteristik umum
dan khusus. Karakteristik umum berkaitan dengan kedudukan konselor sebagai
tenaga pendidik, sedangkan karakteristik khusus berhubungan dengan kualitas
pribadi yang dapat memperlancar perannya sebagai helper (pembimbing).
2. Karakteristik
Pengetahuan
Dilihat dari
aspek pengetahuan (knowledge) konselor adalah tenaga ahli dalam bidang
pendidikan dan psikologis (psikopedagogis). Ia memiliki pengetahuan luas
tentang teori-teori psikologi, konseling, dan pendidikan, sehingga dapat
mengembangkan dan menerapkannya dalam pelayanan konseling kepada klien.
3. Karakteristik
Keterampilan
Konselor
sebagai tenaga professional memiliki keterampilan (skill)
yang memadai dalam memberikan pelayanan konseling. Keterampilan konselor ini
meliputi:
§ Keterampilan dalam menciptakan dan membina hubungan konseling kepada
klien (helping relationship)
§ Keterampilan dalam menerapkan wawancara konseling.
4. Karakteristik
Pengalaman
Di samping
karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang memadai, menjadi konselor
professional juga memerlukan pengalaman kerja dalam menjalankan praktik
konseling baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Kompetensi
inti konselor (common comperencies) adalah seperangkat pengetahuan,
sikap, dan keterampilan bersama yang dikuasai konselor dalam setting manapun.
Setiap setting bimbingan dan konseling (guidance and counseling)
menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai konselor untuk dapat
memberikan pelayanan dalam setting tersebut.
Kompetensi konselor merujuk kepada
penguasaan konsep, penghayatan dan perwujudan nilai serta penampilan ppribadi
yang bersifat membantu (helping personal) dan unjuk kerja professional
yang akuntabel. Kompetensi konselor dibangun dari landasan filosofis tentang
hakekat manusia dan kehidupannya sebagai makhluk Allah Yang Maha Kuasa, makhluk
pribadi, dan warga Negara yang berbasis budaya Indonesia.
Sejalan
dengan perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia dewasa ini serta
mengacu kepada Undang-undang RI Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) konselor adalah pendidik. Dalam kapasitas sebagai
pendidik, konselor berperan dan berfungsi sebagai pendidik psikologis (psychological
educator atau psychoeducator), dengan perangkat pengetahuan dan
keterampilan psikologis yang dimilikinya, ia berperan memfasilitasi
perkembangan peserta didik.
Kompetensi inti konselor Indonesia
telah dirumuskan dan ditetapkan sebagai kesepakatan bersama oleh Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia sebagai standar kompetensi konselor Indonesia
(SKKI) yang terdiri dari 7 butir kompetensi; 27 butir sub kompetensi, dan 107
butir indikator kompetensi. Ketujuh butir
kompetensi tersebut adalah sebagai berikut:
§ Menguasai
konsep dan praksis pendidikan;
§ Memiliki
kesadaran dan komitmen etika professional;
§ Menguasai
konsep dan praksis assessment;
§ Menguasai
konsep dan praksis bimbingan dan konseling;
§ Memiliki
kemampuan mengelola program bimbingan dan konseling; dan
§ Menguasai
konsep dan praksis riset dalam bimbingan dan konseling.
Di dalam proses konseling, semua aspek tersebut saling terkait, sehingga
tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Seorang konselor professional akan lebih
berhasil dalam memberikaan pelayanan konseling kepada kliennya, bila dibandingkan
dengan konselor yang belum professional (konselor pemula). Hal ini disebabkan
oleh karena konselor professional memiliki perangkat pengetahuan, keterampilan
dan pengalaman yang lebih luas tentang konseling, serta lebih mempunyai
sifat-sifat kepribadian yang mantap, seperti: kewibawaan, kehangatan,
kestabilan emosi, simpatik, empati, kejujuran, tanggung jawab, dan dapat
dipercaya.
Di pihak lain, seorang klien memiliki keunikan tertentu yang berbeda dengan
klien lainnya, sehingga bila konselor tidak mampu memahami hal ini, ia tidak
akan mempu menciptakan hubungan konseling yang efektif. Seorang konselor
professional harus mampu memanfaatkan segala kondisi yang menunjang proses
konseling dan menghindari factor-faktor yang dapat menghambat konseling. Di antara
kondisi yang menunjang adalah menciptakan keamanan dan kebebasan psikologis,
ketulusan dan kejujuran, kehangatan dan penuh penerimaan, empati, perasaan yang
menyenangkan, perasaan mencapai prestasi, memiliki harapan dan ketenangan. Di
samping itu, konselor professional juga harus mampu menghindari perilaku yang
merugikan diri seperti: berbohong, tidak bertanggung jawab, tidak berwibawa,
egois, amarah, rendah diri, cemburu, motivasi yang rendah untuk membantu klien,
yang dapat disebabkan oleh rendahnya penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman.
Konselor professional harus dapat memilih metode atau pendekatan-pendekatan
konseling yang tepat dan mampu menerapkannya dalam layanan konseling, sehingga
ia dapat membawa klien ke arah jalan dimana klien dapat mandiri, bertanggung
jawab, dan memiliki pola piker positif (positive thinking).
Dewasa ini perkembangan konseling di Indonesia diarahkan pada suatu bentuk
pelayanan professional dalam lingkup sekolah, karier, industri, keluarga,
dan masyarakat luas (counseling for all), dimana konselor harus memahami
ilmu filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, dan pendidikan, agar ia dapat
memberikan pelayanan konseling secara profesiona. Jadi jelas bahwa untuk
menjadi konselor professional harus juga memahami psikologi konseling.
2.3 Klien
Klien dalam istilah bahasa Inggris disebut Client adalah individu yang
memperoleh pelayanan konseling. Dalam konseling pada setting persekolahan, yang
dimaksud klien adalah peserta didik (siswa) yang
mendapatkan pelayanan konseling, sedangkan dalam konseling pada setting di luar
sekolah (counseling for all), yang dimaksud klien adalah seorang atau
sekelompok orang sebagai anggota masyarakat, yang memperoleh pelayanan
konseling.
Menurut terminologi konvensional, dimana konseling dipandang sebagai
jantungnya pelayanan bimbingan yang bersifat penyembuhan (curative), klien
didefinisikan sebagai seseorang atau sekelompok orang individu yang mengalami
masalah, sehingga mereka membutuhkan bantuan konseling agar dapat menghadapi,
memahami, dan memecahkan masalahnya.
Dalam terminologi modern siapa saja yang memperoleh pelayanan konseling
disebut klien. Klien tersebut bisa berstatus sebagai peserta didik, pegawai
perusahaan atau lembaga pemerintah ataupun swasta, ibu rumah tangga, ayah,
pemuda/remaja, orang dewasa, dan lansia (lanjut usia). Mereka secara sadar
membutuhkan pelayanan konseling.
Klien adalah individu yang memiliki keunikan tertentu. Keunikan tersebut
mencakup: keunikan kebutuhan, keunikan kepribadian, keunikan intelegensi,
keunikan bakat, keunikan motif dan motivasi, keunikan minat, keunikan
perhatian, keunikan sikap, dan keunikan kebiasaan, yang secara khas
mempengaruhi perilakunya.
Pada dasarnya setiap individu menghadapi permasalahan dalam hidupnya dalam
jenis dan intensitas yang berbeda. Di antara masalah individu tersebut,
beberapa masalah bisa dipecahkan sendiri tanpa intervensi konselor, sedangkan
masalah lainnya masih belum bisa diselesaikan sehingga mereka membutuhkan
bantuan konselor. Pada umumnya masalah emosi klien yang cara penyelesaiannya
membutuhkan bantuan konseling adalah: (1) masalah kecewa, (2) masalah frustasi,
(3) masalah kecemasan, (4) masalah stress, (5) masalah depresi, (6) masalah
konflik, dan (7) masalah ketergantungan. Di antara keenam masalah ini dapat
dialami klien secara bersamaan, misalnya di samping klien mengalami masalah
kecewa, ia juga menderita masalah frustasi, kecemasan, begitu juga masalah yang
lain.
Jika dilihat dari pihak orang yang akan dibantu, proses konseling ini
membatasi beberapa hal (Winkell, 1991:67),
yaitu:
1. Orang harus
sudah mencapai umur tertentu sehingga bisa sadar dengan tugas-tugasnya.
Kesadaran itu dapat terwujud dalam hal mengetahui secara reflektif. Tanpa
kesadaran, pelayanan tidak akan tercapai.
2. Orang harus
bisa menggunakan pikiran dan kemauan sendiri sebagai manusia yang berkehendak
bebas serta harus bebas dari keterikatan yang keterlaluan pada
perasaan-perasaannya sendiri sehingga tidak terbawa pada perasaan-perasaannya sendiri.
3. Orang harus
rela memanfaatkan pelayanan bimbingan dalam proses konseling. Dengan kata lain,
pelayanan bimbingan tidak dapat dipaksakan. Oleh karena itu, seseorang harus
yakin bahwa ia sudah mampu untuk mengatur kehidupannya sendiri.
4. Harus ada
kebutuhan objektif untuk menerima pelayanan bimbingan. Subyek harus menyadari
bahwa ia harus menghadapi masalah dan mendapatkan pelayanan bimbingan
sepenuhnya.
2.4 Syarat-syarat
Konseling
Untuk mengadakan proses konseling, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh kedua belah pihak, yaitu dari sisi guru sebagai konselor dan siswa sebagai
konseli. Menurut Winkell (1989:87-88), beberapa syarat yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Di pihak konselor
o
Tiga sikap pokok, yaitu menerima (acceptance),
memahami (understanding), dan sikap bertindak dan berkata jujur. Sikap
menerima berarti pihak konselor menerima siswa sebagaimana adanya dan tidak
segera mengadili siswa karena kebenaran dan pendapatnya/perasaannya/perbuatannya.
Sikap memahami berkaitan dengan tuntutan seorang konselor agar berusaha dengan
sekuat tenaga menangkap dengan jelas dan lengkap hal-hal yang sedang
diungkapkan oleh siswa, baik dalam bentuk kata-kata maupun tindakan. Sedangkan
sikap bertindak dan berkata secara jujur berarti bahwa seorang konselor tidak
berpura-pura sehingga siswa semakin percaya dan mantap ketika sedang berhadapan
dengan konselor.
o
Kepekaan terhadap apa yang ada di balik kata-kata yang
diungkapkan konseli. Kepekaan yang dibangun oleh konselor sekolah akan membantu
dalam proses konseling karena konselor akan mendapatkan banyak data yang
mungkin secara verbal maupun nonverbal diungkapkan oleh konseli.
o
Kemampuan dalam hal komunikasi yang tepat (rapport).
Hal ini berarti konselor mampu menyatakan pemahamannya terhadap hal-hal yang
diungkapkan konseli.
o
Memiliki kesehatan jasmani dan mental yang sehat.
o
Wajib menaati kode etik jabatan sesuai dengan yang
telah disusun dalam Konvensi Nasional Bimbingan Indonesia.
b.
Di pihak konseli
o
Motivasi yang mengandung keinsyafan akan adanya suatu
masalah, kesediaan untuk mengungkapkan masalahnya dengan tulus, jujur, dan
adanya kemauan untuk mencari penyelesaian masalah itu.
o
Keberanian untuk mengungkapkan data-data yang ada
dalam dirinya sehingga konselor akan lebih mudah memahami/mengenal konseli
secara lebih mendalam. Selain itu, konselor juga harus menyadari bahwa konseli
yang dating mungkin sedang mengalami perasaan yang sangat sensitive, kurang
tenang, kecemasan yang berlebihan, atau kemarahan. Maka, konselor harus bias
sabar dan masuk melalui pintu yang tepat agar dapat membantu siswa
mengungkapkan seluruh perasaan dan pikiran yang mengganggunya saat itu.
Agar proses konseling berjalan lancar, pihak konselor harus memenuhi
beberapa syarat di atas. Di samping itu, konselor juga harus melihat beberapa
syarat yang ada di pihak konseli, apakah konseli layak atau tidak untuk
dibantu. Jika saat itu konseli belum siap dibantu, pertemuan bisa diundur
sampai konseli siap dengan keadaannya untuk proses konseling atau konseli harus
segera dibantu, tetapi dengan bantuan pihak psikolog ataupun psikiater.
2.5 Kondisi Psikologis dalam Konseling
Secara umum kondisi psikologis merupakan keadaan, situasi yang bersifat
kejiwaan. Konseling merupakan profesi bantuan (helping profession) yang
diberikan oleh konselor kepada klien yang berlangsung dalam suatu kondisi
psikologis yang diciptakan bersama. Kondisi psikologis ini akan mempengaruhi
proses dan hasil konseling.
Pelayanan konseling berlangsung dalam suatu kondisi psikologis tertentu yang
dibina konselor dan difokuskan untuk memfasilitasi klien agar dapat melakukan
perubahan perilaku ke arah yang lebih maju (progressive) sebagai hasil
konseling. Jadi kondisi psikologis yang dimaksud di sini adalah kondisi
psikologis yang menunjang proses konseling.
Surya (2003:43-48) mengemukakan beberapa
kebutuhan psikologis yang terkait dengan proses konseling, yaitu: memberi dan
mencapai prestasi, memiliki harapan, dan memiliki ketenangan.
Kebutuhan-kebutuhan psikologis ini harus diperhatikan konselor dalam membina
hubungan konseling. Konselor professional selalu menciptakan kondisi tersebut
sebagai faktor yang menunjang proses konseling.
Ketika proses konseling berlangsung, konseli akan menyampaikan banyak pesan
yang tersirat dalam bentuk ungkapan-ungkapan perasaan, baik perasaan senang
maupun tidak senang. Untuk itu, konselor harus tanggap dengan ungkapan-ungkapan
tersebut. Berikut adalah daftar perasaan yang biasa diungkapkan oleh konseli:
A. Perasaan Senang
§ Merasa
bahagia
§ Merasa bebas
§ Merasa puas
§ Merasa
tenang
§ Merasa
tertarik
§ Merasa sabar
§ Merasa
nikmat
§ Merasa yakin
§ Merasa kagum
§ Merasa cinta
§ Merasa lega
§ Merasa
pantas
§ Merasa
santai
§ Merasa
takjub
§ Merasa damai
B. Perasaan Tidak Senang
§ Merasa asing
§ Merasa
bingung
§ Merasa takut
§ Merasa cemas
§ Merasa benci
§ Merasa bosan
§ Merasa
cemburu
§ Merasa sakit
hati
§ Merasa
kehilangan
§ Merasa
kesepian
§ Merasa berat
§ Merasa
berdosa
§ Merasa
tegang
§ Merasa
terpojok
§ Merasa
terombang-ambing
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ragam kondisi psikologis
yang menunjang proses konseling adalah sebagai berikut:
1. Keamanan dan
kebebasan psikologis.
2. Ketulusan
dan kejujuran konselor.
3. Kehangatan
dan penuh penerimaan.
4. Perasaan
konselor yang berempati.
5. Perasaan
konselor yang menyenangkan.
6. Perasaan
mencapai prestasi.
7. Membangun
harapan klien.
8. Memiliki ketenangan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konseling merupakan profesi bantuan (helping
profession) yang diberikan oleh konselor kepada klien yang berlangsung
dalam suatu kondisi psikologis yang diciptakan bersama. Kondisi psikologis yang
menunjang proses konseling yaitu situasi yang bersifat kejiwaan baik dalam diri
konselor maupun konseli (klien). Kondisi psikologis inilah yang akan
mempengaruhi proses dan hasil konseling.
3.2
Saran
Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, baik dari
segi penulisan maupun dari segi materi yang kesemuanya membutuhkan
tambahan-tambahan materi dan juga sistematika penulisan. Agar makalah ini dapat
dikatakan sedikit mendekati kesempurnaan.
DAFTAR
PUSTAKA
M.Surya.
2003. Psikologi Konseling. Bandung:
CV Pustaka Bani Quraisy.
Psikologi Konseling.
(2012). Jakarta: Dr. Hartono, M.Si. & Boy Soemardi, S.Pd., M.Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar